Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Juni 2012

Namanya Lestari

Puff…dia lagi.Heran sejak kapan ada makhluk seperti itu ya di kampus ini?Hitung-hitung sudah seminggu aku absen gara-gara kakiku terkilir waktu main basket plus seminggu lagi aku absent untuk pulang ke Jakarta. Sepertinya aku belum pernah melihat makhluk itu sebelumnya. Siapa ya?

“Namannya Lestari,bro..anak semester dua.Masa lu ga tau sih?”Alis Sultan terangkat”Emangnya ada pa Roy..tumben lu nanya yang kaya gitu?”

“Ga papa kok,cuma penasaran aja kemaren ngelihat dia lagi lewat”

Oh, jadi bukan anak baru ya.Tentu saja.Goblok,kupukul kepalaku.Memangnya universitas bisa menerima mahasiswa baru kapan saja seperti menerima murid di SMA ya..

Namanya Lestari..Hmm,bagus juga.Apa iya aku tidak pernah melihatnya ya?Kampus ini kan tidak terlalu besar,mahasiswanya pun tidak sebanyak universitas negeri. Tapi heran juga ya,kenapa dia berbeda sekali penampilannya dengan mahasiswi lain.

Gayanya ituloh..Judes habis.Kalau dilihatin mukanya langsung cemberut,Mukanya langsung nunduk ke tanah.Jalannya pun jadi buru2,untung aja tidak jatuh keserimpet sama bajunya yang panjang dan melambai-lambai itu.Yang terlihat cuma ekor jilbab panjangnya yg berkibar ditiup angin.

Brakk,kubanting badanku di tempat tidur.Kamar kost ini rasanya jadi pengap.Sudah berapa lama ya aku tinggal di kamar ini?Kulirik poster besar di dinding kamarku.Bon Jovi,Metallica dan..coretan-coretan dinding yang tidak jelas lagi terbaca olehku.Tiba-tiba aku merasa asing di kamar ini..entah mengapa.

Lestari..Kenapa dia lagi?Aku sendiri heran,kenapa akhir-akhir ini aku selalu memikirkannya.Tadi dia disana,diujung jalan itu.Lengkap dengan baju besar dan jilbab panjangnya yg mirip ekor kuda jika melambai di tiup angin.Cerah sekali dia dengan baju pinknya itu.Segar.Apalagi saat melihatnya tersenyum dan tertawa bersama teman2nya..Merdu sekali.Rasanya baru sekali ini aku mendengar tawa yg begitu indah.

Lho,ada apa denganku?aku terbangun.tertegun.Seakan tidak percaya dengan apa yg kupikirkan tadi.Ada apa ini?Perasaan apa ini?Mungkinkah..ahhh,kutepis pikiran itu jauh-jauh.Masa sih aku telah jatuh cin….

What?jatuh cinta sama cewek kaya gitu.No way!! Bisa kiamat kalau begitu.Siapa sih yg tidak kenal aku,cowok tertampan di kampus ini.Penuh dengan daya tarik plus kepintaran.Penjaga kantin sama office boy di kantor dekan saja pasti kenal sama aku.Cewek mana sih yg tidak suka aku deketin?Baru aku beri senyuman saja biasanya sudah jingkrak-jingkrakan.SMS,telpon,surat cinta adalah hal yg biasa untukku.Kalau aku bosan,aku bisa saja mengajak mereka berganti-ganti untuk kencan,nonton di bioskop,makan malam romantis yg pasti ujung-ujungnya aku bisa saja berbuat semauku pada mereka.

Tapi kenapa dengan yang satu ini?Kok dia beda banget ya sama cewek-cewek yang aku kenal.Di kampus yg terkenal bagus dan mahal ini,semua pasti ingin terlihat keren.dari mulai rok mini,tanktop sampai baju yang kehabisan bahan alias cuma kain nempel seperti mbok2 dipake di kampus ini.Tapi dia?Sudah panjang bajunya(lebih tepat seperti daster mbok minah di rumah),panjang pula jilbabnya.Apa sih yg ditutupin?Apa dia punya penyakit ya..kudisan barangkali?Atau barangkali kepalanya botak ya?

“Dia emang beda Roy,”mimik Sultan terlihat serius.”Lestari itu ga sama dengan cewek yang kita kenal,yang sukanya dandan,hura2 ama ngedugem bro..”

“Lantas,dia seperti apa dong?”Kuhisap dalam rokokku.”Dia itu sukanya ngetem di perpus.Tempat favoritnya ya,mushola di kampus kita. Kalau lu ga percaya,datang saja kesana tiap kamis sama minggu.Dia datang terus tuh.Kalau ga salah ada pengajian apa demo masak gitu di mushola..tau deh,gue juga ga ngerti.Ini juga gue tanya-tanya sama arif temen kostan ku,dia kan juga sering ke mushola..”

Mushola?ga salah tuh.Kesana?boro-boro ke mushola,seumur hidup aku nginjak ke masjid itu juga buat menghadiri akad nikah kakakku.”Ga salah lu? Trus kalo gue kesana,pake bawa undangan ga?Atau pakaian khusus gitu?”

“Gue juga ga tahu tuh,datang saja deh.Liahtin saja dulu,kaya apa sih mushola itu..?”

Akhirnya aku disini.Ternyata mushola ini kecil sekali.Ruangannya bersih.Wangi.Beda banget sama tempat biasa aku ngumpul bareng teman-temanku,penuh dengan asap Rokok dan sampah dimana-mana.Dipojok kanan pintu ada rak buku. Ku ambil buku yg ada disitu. Pedoman sholat lengkap.Buku apaan ini? Rasanya aku tidak punya koleksi buku seperti ini. Kubuka lembar demi lembar. Oh,panduan sholat.Ada gambarnya,eh bagus juga.Jadi ingat,kapan ya terakhir aku melakukan seperti yg ada di gambar ini?

a“Assalamualaikum..sendiri aja bang?”Ups,buku yang kupegang hampir terjatuh.”Eh salamm…kum eh …iya nih,sendiri?”

“Kok masih sepi saja ya,belum pada datang ya..yuk,kita siap-siap.Sebentar lagi ustadznya mau datang”

“Oh,iya..”Gagap kuikuti langkahnya.Siapa ya? Kok aku ga kenal? Kulirik sepintas penampilannya. Jadul banget..jaman dulu gayanya.Baju putih panjang dan celananya itu..seperti abis kebanjiran di lipat keatas. Belum lagi janggut tipisnya yg nongkrong di dagunya. Tanpa sadar kuraba daguku. Bersih. Habis dicukur tadi pagi. Ganteng begini kok…

Akhirnya aku disini. Di barisan terdepan. Tepat di depanku duduk ustadz muda yg memberikan ceramahnya. Tentang sholat.Cuma itu yang masuk ke otakku. Kutengok ke belakang. Perasaanku ada suara-suara perempuan di belakang sana,tapi kenapa tidak kelihatan ya. Tertutup oleh kain panjang mirip korden di kostanku. Pasti Lestari ada di balik kain itu. Huh,gimana dong caraku melihatnya. Akhirnya, selesai juga. Ustadz muda itu tersenyum dan menyalamiku.”assalamualaikum..nama saya Farid.Ente siapa? Kayaknya baru ketemu hari ini?”

“Eh,iya ustadz. Na….nama saya Roy..eh bukan ustdz,Rachmat ustadz.”Ku jawab dengan terbata-bata. Kok tau sih dia? Bukannya aku ngerasa sudah terkenal di kampus ini? Roy gitu loh..eh salah tapi kok Rachmat ya? Itu kan nama asliku. Nama yg diberi oleh mama papaku sejak lahir. Akhirnya lagi dan lagi…ustadz muda yang bernama Farid itu mengajakku mengobrol panjang. Orangnya sih,muda banget. Sepantaran umurnya sama kakakku. Lulusan dari kampus ini juga. Dua tingkat diatasku. Sekarang mengajar di salah satu fakultas di kampusku. Jadi Dosen fisika. Keren juga. Sudah menikah. Anaknya baru satu. Aku heran,ngobrol dengannya tak berasa waktu dua jam berlalu.Ustadz Farid atau Farid Arifin tepatnya,mohon pamit karena harus mengisi pengajian di tempat lain.Aku pulang dengan perasaan yg lain.Entah mengapa…

Dia lagi,dia lagi. Kali ini dengan daster biru dan jilbab birunya. Manis sekali..rasanya ingin sekali aku menyapanya dan menyent..eh,apaan sih? Kok jadi begini perasaanku sama dia? Kenal juga tidak. Kuhisap rokokku pelan-pelan. Eh,dia melihatku. Sebentar saja lalu menundukkan kepalanya dan berlalu dari hadapanku. Ada apa ya? Biasanya cewek-cewek kalau ngelihat aku pasti langsung nempel kaya prangko. Kok dia lain. Apa ada yang salah sama mukaku? Perasaan tadi sudah mandi dan cukuran kok. Apa dandananku yang super keren ini atau..rokokku? Buru-buru ku buang rokokku itu. Huh,pasti gara-gara itu dia tidak mau melihatku. Like a monster!!

Sepertinya aku malah semakin tertantang nih. Tantangan untuk mendapatkannya. Harus kudapatkan,walaupun dengan cara apapun juga. Siapa sih yang tdak kenal dengan Rachmat eh Roy? Seluruh kampus ini pasti mau jadi pacarku.

Itu dia,ada di depan papan mading ruangan ujung. Sendirian. Kesempatanku kali ini. Harus dapat tidak boleh tidak. Dengan tergesa kudekati dia.”Hei..lagi ngapain? Namakau roy” Kuulurkan tanganku.Dia Cuma melirik sebentar. Tangannya tetap didada mendekap diktat kuliah yang besar.”Sombong banget sih,lu ga tau siapa gue?”Marah juga aku akhirnya”Kalo jadi cewek jangan jaim gitu deh!!” Kutarik tangannya dengan paksa. Brakk,buku berserakan di lantai. ”Astaghfirullah….”Dia menjerit kecil. Aku tidak peduli. Kupegang tangannya erat-erat.”Gue suka sama lu,lu mau kan jadi cewek gue??!!lu mau kan…” Tangannya sampai merah.”Aduh sakit..apaan ini? Lepaskan,atau saya akan teriak..!!”Suaranya tambah kencang dan mukanya marah sekali.”Lepaskan!!!”

Akhirnya kulepaskan juga tangannya,daripada teriakannya di dengar orang di kampus trus aku dikeroyok rame-rame. Dia langsung pergi berlari-lari sambil menangis.Aku tertegun sejenak. Apa yang sudah kulakukan?? Inikah aku??

Kepalaku rasanya berputar. Dengan gontai kuambil diktat yg berserakan di lantai.Ada namanya diatas diktat itu.Lestari fitriani. Kubalik lembaran di dalamnya. Ada alamat tertera disitu,jalan kemuning nomor lima.Ah itukan dekat dari sini. Masih di dalam lingkungan komplek kampus ini. Kalau tidak salah itu perumahan dosen. Mungkin lestari kost di salah satu rumah dosen disana. Aku harus minta maaf.ini tidak boleh terjadi.Aku memang suka padanya tapi bukan begini caranya.

Ini dia. Motorku berhenti tepat dijalan kemuning no 5. Rumahnya kecil tapi asri. Bangunannya asli,belum diangun seperti kebanyakan rumah dosen di sekitar sini. Tok..tok..”Haloo..permisii..”

Lima menit kutunggu.tapi tidak ada yang keluar “Hal..”Suaraku terputus.Dari arah pintu keluar seseorang yang amat kukenal. Baru kukenal tepatnya.”Lho Rachmat? Alhamdulillah,mau berkunjung kerumah saya.mari..silahkan masuk..”Senyum ramahnya tidak mungkin kulupa.”Eh,iya ustadz Farid..trimakasih. Ustadz tinggal disini?’

“iya..lho,memang tau rumah ini darimana?Ya sudahlah,masuk dulu…ada apa nih?”

Aku duduk.terdiam.Bagaimana ya mengatakannya.Apa ustadz Farid yang juga dosen fisika di kampusku ini bapak kostnya Lestari?

”Anu ustadz..em..emm..mau ketemu sama yang kost disini?’

“kost?Disini…siapa ya? Mungkin salah, yang ada anak kostnya dirumah sebelah. Tapi,kira-kira siapa namanya?Mungkin saya kenal?’Tanya ustadz Farid sambil tersenyum.”Les..”Belum selesai kusebutkan namanya,muncul anak laki-laki kecil “Abi..abi..mainnnn..”anak itu langsung memeluk ustadz Farid. ”Eh, Fitrah jangan nakal ya. Abi ada tamu nih.”Oh,anak ustadz Farid rupanya.”Ummi…ini Fitrah dibawa dulu..”Pasti lagi manggil ibunya.

”Oiya,siapa tadi yang dicari de Rachmad?”Ustadz Farid menatapku serius.anaknya masih di pangkuannya. Dari arah pintu dalam keluar sesosok yang menghentikan nafasku. Menelan air ludahku saja rasanya tidak sanggup. Gemetar tanganku, Kepalaku rasanya berputar. Ustadz farid menengok ke arah sosok itu.

”Oh,ini Fitri istri saya…Fitrah sama ummi ya?Lho,ummi ko matanya sembab begitu?Sepertinya habis nangis ya..kenapa mi?”

Mata itu.merah dan sembab. Seperti habis menangis lama. Sedih sekali raut wajahnya. Aku merasa bersalah. Berdosa.”Ada apa mi?oya,ini temen abi,namanya Rachmad…”

Kepalaku tambah berputar rasanya.Aku berharap tidak pernah berada disini….

Peradilan Rakyat

Cerpen Putu Wijaya
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?"

Merpati Cinta

Malam ini begitu hening, yang kulihat hanyalah bintang-bintang yang bertaburan menggantung di langit. Aku sendirian duduk di rerumputan yang halus di tepi Danau dengan buliran air mata yang terus mengalir membasahi pipiku. Aku kesepian, karena aku hidup di dunia ini hanya sebatang kara dan bagiku tiada lagi tawa kebahagiaan yang ada hanyalah kesendirian dan kepenatan hidup yang selalu menemani hari-hariku ini.
“Mengapa? Mengapa aku tidak pernah merasakan kebahagiaan. Kenapa semua orang yang kucintai meninggalkanku?” teriakanku sambil melempar batu-batu kecil ke Danau. Aku menangis semakin menjadi-jadi, aku rindu keluargaku yang telah lama meninggalkanku sendirian di dunia ini.
Aku tergagap karena karena satu burung merpati kecil hinggap di bahuku dan kulihat ada sepucuk surat deng kertas berwarna merah muda yang di ikatkan pada kaki kanan burung merpati itu. Aku pun memegang burung merpati itu lalu kubelai lembut sambil tersenyum manis.
“Kamu burung cantik! Mana temanmu?” tanyaku sambil tersnyum
Aku pun melepaskan ikatan surat itu pada kaki burung Merpati lalu kubuka dan membaca nya.
“Janganlah kamu terus bersedih Prinses. Masih banyak 0rang yang sayang sama kamu. Aku yakin suatu saat akan ada seorang pangeran yang akan menjemputmu dan mencintaimu dengan tulus” isi surat nya membuatku kaget. Aku mengernyitkan kening tak mengerti dan banyak pertanyaan tertumpuk di otakku. Dan tiba-tiba detak jantungku berdegup kencang padahal sebelum nya aku tidak pernah merasakan ini semua.
“Siapa pengirim surat ini ya? Tapi siapa pun dia makasih ya karena kamu udah buat aku senang” kataku sambil tersnyum paling bahagia sedunia
Burung itu pun melepaskan diri dari genggamanku ia terbang bebas ke udara. Aku pun segera berdiri lalu menoleh ke belakang dan kulihat seorang laki-laki memakai celana Jeans Jaket Serta Sepatu Putih masuk ke mobil BMW berwarna merah lalu berlalu pergi dengan mobil nya. Aku murung hatiku kesal karena tidak bisa melihat wajah laki-laki itu. Dan jantungku berdegup kencang membayangkan laki-laki tadi yang kulihat hanya dari belakang.
“Semoga ini bukan pertama dan terakhir kali nya aku melihat cowok tadi” pintaku dengan wajah memelas
Kian lama hatiku mulai tenang dan senyuman selalu terlukis di bibirku setiap hari karena setiap hari Burung Merpati kecil itu selalu datang menemuiku dan membawakan surat yang berbeda setiap hari nya. Isi surat itu selalu membuatku bahagia, walaupun aku tidak tahu siapa sebenarnya pengirim surat itu.
“Siapa sebenar nya pengirim surat cinta itu? Aku yakin dia cowok tapi kenapa aku selalu merasakan dia ada di dekatku” tanyaku sambil memandangi surat-surat yang tertata rapi di meja belajarku
Keesokan harinya seisi Kampus gempar membicarakan Mahasiswa baru yang katanya Cool, ganteng dan juga seorang penyangi. Aku hanya mengernyitkan kening tak mengerti berdiri di dekat fakultas Sastra fakultasku.
“Sinta! Kok kamu seneng banget. Ada apa si?” tanyaku penasaran kepada teman fakultasku yang berdiri di depanku
“Ya ampun Olivd masa kamu nggak seneng kan dia Artis terkenal. Aku mau banget jadi pacar nya” Jawab Sinta sambil tersenyum dan menatapku
Aku menggeleng-gelengkan tak mengerti maksud pembicaraan Sinta. Tak lama kemudian Mahasiswi-mahasiswi berlarian sambil berteriak histeris ke arahku.
“Waduhh…. Kok cewek-cewek pada nyamperin aku?” tanyaku tak mengerti
“Sumpah perfect banget” kata cewek-cewek itu dan juga Sinta serentak yang berdiri di depanku dan menatapku
“Kalian pada kenapa si?” tanyaku polos
Aku pun tersipuh malu lalu menundukkan kepalaku untuk menghindari tatapan mereka yang begitu dalam        ”Hey! Apa kabar Olive?” Ucap seorang laki-laki sambil memegang bahuku dari belakang
“Siapa si?” tanyaku kesal
Aku pun segera menoleh ke belakang. Aku tergagap karena kulihat seorang laki-laki sangat tampan melempar senyum termanisnya ke arahku. Aku terdiam dan jantuhku kembali berdegup kencang.
“Hi… Kenalin aku Reno Mahasiswa baru” sambil mengulurkan tangan nya
“Olive!” kusambut tangan nya dg tersnyum
Aku tergagap karena Burung Merpati Yang biasa menemaniku terbang ke arahku lalu ia hinggap di bahu Reno.
“Cantik! Pinter kamu sayang!” kata Reno pada Burung itu
“Reno! Kamu kenal sama burung itu?” tanyaku penasaran
“Ini Burung aku, prinses!” Kata nya lalu berlalu pergi
Aku tak menyangka Burung yang selama ini menemaniku adalah milik Reno. Aku pun berlari mengejar Reno. Dan kami saling menatap di taman belakang kampus.       “Jadi surat yang selama ini aku trima dari kamu” kataku
“Iya! Dari awal aku melihat kamu Di Danau itu aku sudah mencintai kamu. Maka nya aku kirim Merpati Cintaku buat kamu” kata Reno sambil tersnyum
“Aku juga dari awal udah cinta sama pangeran Merpati” kataku
“Jadi kamu mau trima Cinta aku!”
“Iya”
Reno pun merangkulku dan kami membelai merpati itu dengan lembut.